Sunday, March 13, 2011

part II khasanza kecil

dahulu hidupku begitu indah, ayahku adalah seorang pengusaha meubel, saat itu ku ingat masih belum sekolah. tiap miggu aku selalu ikut dengan ayahku pergi ke berbagai kota untuk menjual hasil produksi ayah. saat itu aku sangat manja, tiap hari 5-50 ribu ku habiskan hanya untuk jajan, bayangkan kawan, masa itu kira-kira tahun 1995-1997 dimana harga rupiah masih tinggi dan belum jatuh di mata dolar amerika. aku sangat tercukupi, segala keinginan hampir terpenuhi, 1 hal positif yang sampai sekarang masih dapat ku rasakan dari segala hal itu kawan, yakni aku tak pernah mengalami mabuk perjalanan, hhahaha...
setelah reformasi, usaha ayahku jatuh, khasanza kecil menjadi malang, kami sekeluarga harus meninggalkan dan menjual rumah bandung kesayangan kami, lalu pindah ke kabupaten garut, tempat lahir ibuku. awal hidup baruku mulai berjalan, ku kira tak ada harta berarti tak bahagia, ternyata tak begitu juga, di garut ku mendapat banyak teman, diantaranya eno, kiki, eden, sandi, yeye, jang dadi, nanang, ipan, mamang, dan masih banyak lagi. merekalah yang menghiasi hariku selanjutnya.
tiap hari selalu berisi, pagi hari kami selalu bermain sepakbola dilapangan belakang sekolah dekat kuburan, siang hari kami sekolah agama di madrasah, maklum kawan, asal kau tahu, orang garut pedalaman memang sangat ketat mengajari anaknya tentang agama, jadi sekali bolos saja, kakek ku siap menjepretkan lidi nya, hhaha. lalu ketika sore menjelang kami bermain layang-layang lepas, bebas, jungkir balik di sawah, kotor, belepotan di rawa, lumpur di seluruh badan, sugguh kehidupan yang khasanza kecil tak pernah bayangkan.
kehidupan SD sungguh membahagiakan, meski kelas 1 ku lewati di bandung dan tak berprestasi, di kelas 2 SD cigawir II desa cigawir kec. selaawi garut ku mendapat ranking 1 untuk pertama kalinya, kemudian kembali terulang di tahun berikutnya. tapi persaingan menjadi lebih berat, kelas 4 sampai 6 aku hanya menempati kursi prestatsi 2, kalah dari temanku Neng Rismawati yang hingga SMK selalu mendapat sekolah yang sama denganku.
hari berlalu hari, detik dan jam tak terhitung lagi, minggu dan tahun silih berganti, ayahku masih belum bekerja, ia hanya pergi ke kebun untuk menanam sesuatu dan bekerja serabutan. khasanza kecil pun malang, tiap hari ia harus berjualan es ke sekolah, ke madrasah, mengantarkan ke warung-warung, keliling kampung, tapi aneh, tak pernah ku rasakan kepedihan, yang ada hanya sesosok wajah anak kecil polos, lugu, yang selalu menyayangi kedua orangtuanya dan dibanjiri rasa kasih dan sayang orang-orang di sekitarmya. aku bahagia dengan segalanya, pahit pun terasa manis, hidup keras terasa halus, kaki yang lelah terasa semakin kuat. tapi 1 hal yang harus kau tahu kawan, masyarakat sangat geram terhadap khasanza kecil, ia selalu berteriak di subuh buta, dengan suara yang cadel, melolong mengalahkan suara anjing kampung, keras sekali dengan microfon mesjid jami Al-makmur buyutnya, ia berdalih mengaji, tapi masyarakat sekampung selalu terbangun dari tidur lelapnya, mengganggu, tapi tetap, ia adalah anak kesayangan kampungnya, tembong village...

No comments:

Post a Comment